Selasa, 15 April 2014

Victim Blaming Tendencies: Studi Kasus Perkosaan RW



 “When women don’t dress according to Shariah law, they‘re asking to get raped”- Ramli Mansur

Begitulah kalimat yang diucapkan oleh Bupati Aceh Barat itu, tiga tahun silam. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kalimat tersebut bukanlah hal yang terlalu dianggap serius, tapi reaksi pers internasional sangat menyayangkan ucapan itu keluar dari pejabat Indonesia. Namun Ramli Mansur tak sendiri, kalimatnya bahkan diamini oleh menteri dalam negeri saat itu. Tak mau kalah, Fauzi Bowo pun mengucapkan hal bermakna sama ketika kasus perkosaan didalam angkutan umum sedang marak-maraknya. Sialnya, tak hanya mereka yang memegang kursi eksekutif yang berkata seperti itu, dari ranah yudikatif pun tak jauh berbeda. Tentu nama Daming Sanusi masih akrab ingatan kita ketika ia mengatakan antara korban dan pelaku perkosaan sama sama menikmati.[1] Kalimat tersebut mungkin diucapkan tanpa berat hati, namun bagi mereka yang memiliki empati tinggi dalam kasus perkosaan apalagi korban, kalimat ini sungguh menusuk hati, melukai.
Contoh contoh diatas merupakan contoh betapa masyarakat masih memiliki tendensi untuk menyalahkan korban dalam hal kasus perkosaan. Tulisan ini akan membahas tentang betapa mindset seperti ini menjadi sangat tidak adil bagi korban perkosaan, dan sebagai studi kasus, perkosaan Sitok Srengenge kepada RW dapat kita jadikan pelajaran.
            Bila dilihat lebih dalam, apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka yang disebutkan diawal? Mengapa orang sangat bersikeras untuk menyalahkan korban padahal, ia tidak mendapatkan apa apa dari menyalahkan korban tersebut?
Dalam ilmu psikologi, istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut adalah victim blaming tendencies. Victim Blaming merupakan suatu mekanisme alamiah –namun tentu tidak adil- yang merupakan bentuk denial atas kelemahan manusia dalam mengontrol hal hal diluar kemampuannya. The more innocent a victim, the more threatening they are.[2] Hal ini karena menyalahkan korban mampu memenuhi kebutuhan kita untuk tetap percaya bahwa bumi adalah tempat yang selalu aman dan bermoral, dimana hal baik akan selalu menimpa orang baik dan hal buruk hanya akan menimpa orang yang buruk. Ketika hal buruk menimpa orang baik, maka hal tersebut membuktikan bahwa tak akan ada orang yang bisa aman hidup di dunia – maka menyalahkan korban adalah cara otak paling mudah untuk mempertahankan kepercayaan bahwa dunia aman. Fakta bahwa keadaan “tidak beruntung” dapat menyerang siapa saja dan dimana saja merupakan fakta yang menyeramkan oleh sebab itu, lebih menguntungkan untuk di-denial saja.
Jika dikaitkan dengan kasus RW dan Sitok Srengenge, pola menyalahkan korban ini terlihat sangat jelas, mulai dari pemberitaan di media massa hingga di dalam proses pencarian keadilannya. Dalam media massa, RW masih sering disalahkan sebagai perempuan yang memang “menginginkan” terjadinya perkosaan tersebut karena perkosaan tersebut terjadi beberapa kali, sehingga, karena atas dasar “beberapa kali” tersebut, publik mengatakan ada unsur suka sama suka antar keduanya. Atas pertimbangan itu, banyak orang yang seolah menghilangkan fakta seperti kondisi psikologis korban dan relasi kuasa yang terjadi antara korban dan pelaku. Orang seolah susah menerima bahwa perkosaan berulang tadi terjadi karena pelakulah yang melakukan kejahatan dengan mengancam atau memaksa. Dalam mindset orang kebanyakan, korban lah yang salah karena terlalu “murah” untuk mau berada dalam kamar yang sama dengan lelaki yang bukan siapa siapanya.
Sayangnya, victim blaming tendencies yang menciptakan ketidakadilan juga masih dilakukan oleh penegak hukum kita, terlihat jelas dalam kasus perkosaan terhadap RW yang ditangani oleh kepolisian jakarta selatan. Dalam kasus pidana umumnya, beban pembuktian pasti terletak di tersangka, ia lah yang harus menyakinkan penyidik bahwa bukan dirinya yang melakukan suatu kejahatan. Sedangkan dalam kasus perkosaan, beban pembuktian seolah ada pada pihak korban, ia lah yang harus meyakinkan penyidik bahwa ia telah diperkosa. Ditengah kemelut batin melawan trauma perkosaan, korban dipaksa untuk menceritakan kembali segala hal yang telah menimpanya oleh para penegak hukum, tanpa peduli betapa sakit psikis korban untuk sekedar mengingat hal buruk tersebut. Penegak hukum biasanya akan bertanya hal hal yang tak menggunakan hati nurani seperti meminta penjelasan kronologis kejadian hingga cara pelaku memperkosa korban. Semuanya dilakukan demi agar penyidik merasa pantas untuk menindaklanjuti proses hukum ketingkat yang lebih tinggi. Sungguh sebuah hal yang berkebalikan jika dibandingkan dengan kasus pidana lainnya dimana jaksa biasanya berlomba lomba untuk membuktikan bahwa tersangka adalah benar seorang pelaku kejahatan.
Sebagai kesimpulan, mungkin tendensi untuk menyalahkan korban merupakan hal yang secara alamiah dimiliki oleh setiap orang karena resistensi untuk membayangkan bumi yang tidak aman dan tak selamanya ramah. Namun demi kepentingan yang jauh lebih besar dari pada sekedar rasa aman pribadi, tendensi ini harus dibuang jauh jauh, terutama dari tubuh penegak hukum kita. Bagaimana mungkin bisa menciptakan keadilan jika adil sejak dalam pikiran saja sebegitu sulit untuk dilakukan?


Catatan kaki,
[1] Ulasan mengenai Daming Sanusi bisa dilihat dalam http://camila-baraqbah.tumblr.com/post/41933263275/daming-dan-alam-bawah-sadarnya-edisi-telat-ngepost-p
[2] Juliana Breines, Ph. D, Why Do We Blame Victims?, diakses dari http://www.psychologytoday.com/blog/in-love-and-war/201311/why-do-we-blame-victims pada tanggal 14 April 2014 pukul 20.00


Tidak ada komentar:

Posting Komentar