Rabu, 23 November 2011

Mengapresiasikan mereka adalah kewajiban

“They don’t appreciate because they don’t know how was your effort – Annisa Karim “


Sea Games baru aja berakhir, selama berlangsungnya seagames, setiap hari pasti ada aja tayangan di TV yang ngeshoot atlet atlet kita yang sedang bertanding. Entah itu pertandingan sepakbola, badminton, atau angkat besi. Semua penonton heboh meneriakkan “Indonesia”. Tapi ditengah sorak sorai penonton yang ikut menyaksikan mereka bertanding , ada gue yang nonton tapi sambil mewek.

Gue mewek karena gue ngebayangin proses latihan seberat apa yang udah mereka lalui untuk sampai ketahap ini. Gue ngebayangin juga efek latihan yang seberat itu untuk fisik mereka dihari tua nanti. Kondisi tulang mereka, otot mereka, pasti bakalan buruk kedepannya. Apalagi buat cewek, latihan yang diporsir bakal banyak membawa dampak buruk buat Rahim mereka. Contoh gampang yang gue liat dengan mata kepala gue sendiri, kakak gue. Kakak gue itu atlet tennis. Waktu smp dia udah menang di batam open, tingkat nasional. Gue tau banget dia latihan kayak apa. Dan pada akhirnya, karena latihan yang terlalu berat menyebabkan dengkulnya cedera. Bukan karena jatoh atau apa, Cuma karena terlalu sering dipake lari. Lari itu suatu keharusan buat atlet. Setau gue, hampir semua cabang olahraga pasti butuh latihan fisik, dan itu biasanya minimal diisi dengan lari. Jadi kebayangkan sebenernya pasti banyak atlet yang ngerasain “pain” kayak yang dialamin kakak gue.

Menurut gue, memilih jalan untuk menjadi atlet itu bener bener sebuah pengabdian. Gue pernah di doktrin sama guru renang gue sebelum bertanding, dia bilang :


“Seletih-letihnya kamu, jangan pernah berhenti untuk terus melaju sampai tangan kamu menyentuh dinding kolam, kalo emang ternyata kamu ga kuat dan pingsan ditengah kolam, ada penjaga kok yang bakal menyelamatkan kamu. Yang penting berjuang!”


Kira kira seperti itulah doktrin yang gue terima setiap ikut pertandingan. Jadi masalah menjadi atlet itu masalah berjuang melawan rasa letih, sakit, dan bahkan rasa mau mati tiap lagi bertanding.


Oh iya, rasa mau mati mungkin menurut lo lebay, tapi gue pernah ngalamin rasa kayak gini. Waktu itu gue ngambil nilai lari buat ujian akhir di sekolah. Karena doktrin guru renang gue masih nempel di otak gue, gue lari dengan nafsunya. Waktu itu gue lari 2,4 kilometer. Untuk ukuran normal temen temen seangkatan gue, jarak segitu ditempuh dengan waktu 20-30 menit, untuk dapet nilai 100 di ijazah, waktu tempuh nya harus paling lambat 18 menit, sedangkan gue lari jarak segitu ngabisin waktu 16 menit. Alhasil gue dapet peringkat pertama cewek seangkatan. Naah pas puteran pertama sampe ke 4 gue masih kuat, tapi pas puteran ke 5 sama ke 6, disitu rasa mau mati mulai berasa. Rasanya itu kayak jantung lo tiba tiba mau meledak, perut lo mual, kepala pusing, dan tiba tiba ingat sama Allah. Haha seolah olah ajal udah didepan mata banget deh.

Balik lagi ke atlet Indonesia, ada satu cabang olahraga yang bikin gue menitikkan airmata pas nonton. Cabang itu adalah cabang angkat besi. Coba deh lo perhatiin muka atletnya pas lagi ngangkat besi, itu tuh miriiis men, miris banget. Mana yang nonton dikit pulak. Cabang lainnya, yaitu bola, kemaren juga sukses bikin gue nangis sambil guling gulingan di ruang tv, alesan pertama yaa jujur sih, gara gara kalah. Tapi alesan kedua yang bikin gue terharu tuh gue ngebayangin seberapa nyeselnya para pemaen timnas kita pas endingnya kalah, di penalty pulak.


Intinya menurut gue, kalo ada yang menganggap biasa prestasi para atlet kita itu artinya mereka belum pernah tahu seberapa berjuangnya atlet atlet kita untuk bisa ngebawa medali. Apalagi kalo sampe ada yang ngatain atlet atlet kita, itu artinya jahaaaat you know, kebangetan.


So, gue berharap, mulai sekarang, sebagai orang yang baik, kita harus mengapresiasi prestasi prestasi atlet atlet kita, karena mengapresiasi mereka akan senantiasa mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik lagi.


Senin, 14 November 2011

Inspirasi ku

“Mereka begitu berbeda kecuali dalam cinta”

Ini cerita tentang sesosok wanita hebat yang ada dibelakang ayahku, yang dengan setia menemani setiap langkahnya, mengistiqomahkan hatinya, menjalankan amanah darinya dan menjadi pelindung anak anaknya. Beliaulah Ibu ku. Selama ini, beliau memang jarang menghiasi tulisan tulisan dalam blog ku, atau dalam essai essai ku, namun itu bukan karena ibu ku tidak memberi pengaruh bagi hidup ku, justru beliau lah pembentuk segala karakter, bakat, dan kepribadian dalam diriku. Peranan beliau terlalu banyak, sehingga menyulitkanku ketika ingin menceritakannya dalam rangkaian kata kata.

Umi, begitu aku biasa memanggilnya, adalah ibu yang selalu mengajarkanku tentang nilai nilai kehidupan, seperti bagaimana cara mengahargai orang, bagaimana cara menjadi orang yang menyenangkan, cara meredam emosi, dan cara berhubungan dengan Tuhan. Umiku orang yang paliiing mengerti aku. Beliau tau bakatku dimana, makanan kesukaanku apa, sifat buruk ku apa, dan lain lain. Beliau lah yang memasukkan aku ke klub tennis, klub renang, klub basket, les vokal, dan berbagai les les softskill lainnya. Namun ada satu hal yang sangat tabu untuk jadi bahan perbincangan kami, masalah pria yang aku sukai. Untuk masalah ini , umi seolah menutup telinga.

Aku pernah menceritakan tentang seorang pria yang aku suka pada saat wisuda SMA. Umi ku langsung bilang “ dia jelek , mia ga boleh genit genit”. Sejak saat itu aku tak mau ambil risiko dengan mengambil topik ini sebagai bahan pembicaraan. Topik ini lebih cocok aku perbincangkan dengan Abah.

Kisah cinta mereka menginspirasi diriku hingga kini. Umi bertemu Abah pada masa kuliah. Mereka tergabung dalam sebuah perkumpulan Bani Alawiyyin di Universitas Lampung. Umi pada saat itu adalah seorang mahasiswi Fakultas ekonomi sedangkan Abah mahasiswa Fakultas hukum. Saat itu Abah menjabat sebagai ketua sedangkan umi sebagai bendahara. Umi sangat membenci abah karena abah termasuk orang yang aktif dikampus, sedangkan umi adalah gadis biasa yang lebih sering memilih untuk berlajar atau bersenang senang dengan teman temannya dan cenderung apatis dalam menyikapi perubahan perubahan sosial yang pada masa itu kerap kali terjadi. Umi menganggap Abah adalah pria yang terlalu vokal, terlalu idealis ( sampai saat ini aku tak mengerti kenapa malah hal itu yang dibenci umi ) . Padahal menurutku, justru Abahku yang seperti itu adalah idaman para wanita. Jujur aku pun mengharapkan suami yang “minimal” seperti Abahku.

Perbedaan diantara mereka tidak terbatas pada karakter dan sifat dalam diri mereka, tetapi juga pada lapisan sosial mereka. Abah ku adalah mahasiswa yang sungguh mengenaskan kondisi keuangannya. Beliau tinggal di ujung peta provinsi lampung, pada sebuah pantai yang sampai sekarang pun tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Ayah dari Abah ku adalah seorang PNS yang bertugas mengurusi urusan administrasi kampung tersebut. Oleh karena jabatan kakekku lah ayah ku jadi pintar. Mengapa ? Karena rumah Abah menjadi perpustakaan bagi buku buku untuk daerah tersebut. Abahku telah mengenal sastra sejak kecil, dan sejak saat itu pula beliau mencintai buku.

Berkebalikan dengan umiku yang keluarganya dianggap sebagai keluarga terpandang di Lampung. Keluarga Umiku terpandang karena faktor ekonomi , bukan karena keintelektualan seperti keluaga ayahku. Rumah umiku berada tepat diseberang pasar yang merupakan pusat kota pada masa itu. Umiku merupakan anak dari pengusaha ternama dikota tersebut. Kata Adik dari Abahku, setiap orang kenal siapa kakek ku. Oleh karena itu pernikahan –antar kelas– mereka sempat menjadi perbincangan yang hangat bagi beberapa warga disana.

Abah ku mencintai umi karena kesederhanaan dan kerendahhatiannya. Sedangkan umi mencintai Abah karena Abah memberikan cintanya kepada Umi. Hubungan penjajakan mereka tidak berlangsung lama seperti orang orang pada saat ini sering lakukan. Mereka bertaaruf selama tiga bulan kemudian menikah.

Tapi diantara berbagai perbedaan tersebut banyak juga kesamaannya, seperti keduanya tidak materialistis, menyukai tantangan alam, olahraga, seni dan senang “berbeda” dengan orang lain. Hal ini sepenuhnya menurun kedalam diriku. Yang aku harapkan menurun pula kedalam diriku adalah kisah percintaan mereka. Kisah cinta mereka selalu jadi motivasi terkuatku untuk tidak pernah mencicipi pacaran atau hts an yang kata orang adalah masa paling indah saat remaja. Meskipun aku sangat menyadari, orang sepertiku rentan sekali terjerumus ke hal yang mendekati zina tersebut. Ketika memasuki dunia pernikahan kelak , aku pun berharap dapat menjadi ibu dan isteri seperti ibuku, yang mengayomni dan melayani keluarga dengan sangat professional.