Tulisan ini dibuat tahun 2013, tepatnya di bulan Desember
sebagai respon atas isu hangat tentang PEMIRA UI. Terkesan terlambat
dipublish di blogspot, tapi, semoga dapat memberi pelajaran.
Ada apa di PEMIRA UI?
Bulan lalu, media sosial mahasiswa UI tengah hangat-hangatnya membicarakan suatu isu: Pemira UI. Bagi sebagian mahasiswa UI, bulan November merupakan bulan yang memuakkan, dimana teman dan lawan dapat dengan mudah bertukar posisi. Namun bagi sebagian kecil lainnya, bulan ini akan menjadi bulan yang “menyenangkan” untuk diamati karena kontroversi yang sedang mencuat ke permukaan, seperti halnya kontroversi yang pertama kali muncul sebelum masa pemira dimulai: Judicial Review Peraturan Pemilu oleh salah satu bakal calon wakil ketua BEM UI, Ahmad Mujahid.
Judicial review ini diajukan untuk menguji persyaratan yang tercantum dalam Undang Undang No. 1 tahun 2013 tentang Pemilihan Raya Ikatan Keluarga Mahasiswa UI pasal 26, 31, dan pasal 36 masing masing poin “d” dan poin “g”. Poin “d” dan poin “g” pada ketiga pasal tersebut berbunyi sama; tiap tiap peserta pemilu, baik itu yang ingin mengajukan diri untuk lembaga DPM UI, BEM UI, dan MWA UI UM, harus memiliki IPK Minimal sebesar 2.75 dan poin “d” berbunyi bahwa setiap bakal calon harus melepaskan segala jabatan struktural yang melekat padanya, baik pada tingkat fakultas maupun tingkat universitas.
Alasan pengajuan judicial review tersebut selain karena pemohon merasa terlanggar hak konstitusionalnya adalah ketiadaan dasar hukum dalam menentukan standar IPK tersebut merupakan. Yang lebih buruk, ketentuan ini juga mencederai hak untuk berpartisipasi dalam PEMIRA bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Padahal, menurut Undang-Undang PD IKM, setiap mahasiswa Universitas Indonesia berhak untuk turut memilih dan dipilih dalam kontestasi PEMIRA Universitas Indonesia. Sedangkan argumen yang dibawa Ahmad Mujahhid terkait poin “d” adalah bahwa bulan-bulan November tahun ini merupakan bulan yang juga ramai dengan isu pemilihan dekan. Bila diperhatikan, mereka yang maju sebagai calon ketua DPM, BEM, ataupun MWA merupakan mereka yang banyak memegang jabatan di tingkat fakultas. Akan sangat sulit untuk fakultas yang ditinggalkan apabila terjadi pergantian struktur disisa sebulan masa kepengurusan lembaga mereka di fakultas dengan kondisi pergantian dekan.
Pengajuan gugatan atas pasal ini pun menuai pro dan kontra. Banyak pertanyaan yang muncul akibat putusan kontroversial Hakim MM tersebut. Bagi yang pro, putusan tersebut sudah tepat karena dirasa memenuhi tujuan utama dari pemira tersebut, yaitu membuka seluas luasnya kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan terlibat secara langsung tentang demokrasi. Sedangkan bagi pihak kontra, IPK 2.75 adalah angka yang tepat untuk menjadikan seseorang “pantas” menjabat sebagai pejabat publik di tingkat mahasiswa Universitas Indonesia. Angka tersebut seolah disepakati sebagai tolak ukur apakah bakal calon tersebut telah melaksanakan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa untuk bertanggung jawab secara akademis. Pembatasan angka 2.75 tidak hanya terjadi dalam kontestasi PEMIRA UI, melainkan hingga ke pemilihan Project Officer acara acara setingkat kampus sekalipun.
Melawan hukum tertulisnya, Ketua Hakim Mahkamah Mahasiswa, Normand Edwin, telah memutuskan untuk mengabulkan semua permohonan tersebut. Kedua pasal yang digugat, baik yang berkaitan dengan pengunduran diri dari jabatan struktural di Fakultas, dan pasal yang mengatur batas IPK minimum, Ia kabulkan tanpa syarat. Lantas, apakah keputusan tersebut telah benar-benar “adil”?
Kasus ini menarik hati penulis untuk dikaji karena sebagai mahasiswa, penulis nyata-nyata terlibat didalamnya. Pembelajaran paling baik adalah ketika kita mengalaminya secara langsung, senada dengan kutipan dari Confucius, “When I hear, I forget. When I see, I remember. When I do, I Understand.” Penulis mencoba mengambil jarak dari peristiwa dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi. Penulisan ini mencoba untuk menerka, bagaimanakah kesesuaian putusan hakim Mahkamah Mahasiswa dengan rasa keadilan masyarakat? Apakah telah dapat kita kategorikan sebagai hukum progresif?
Mengenal Hukum Progresif
Hukum adalah lembaga yang berfungsi untuk melakukan pengaturan masyarakat, sehingga berkaitan erat dengan perilaku anggota masyarakat hukum tersebut. Hukum mengatur bukan untuk kepentingan hukum itu sendiri, melainkan berinteraksi dengan masyarakat dan anggota masyarakat.[1] Hal ini senada pula dengan teori Volkgeist yang merupakan buah pikiran Von Savigny, seorang Juris asal Jerman. Secara etimologis, Volkgeist dapat diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai “the general or common consciousness or the popular spirit of the people”. Savigny percaya bahwa hukum adalah produk dari kesadaran masyarakat yang merupakan manifesto spirit yang mereka bawa. Baginya, antara manusia dan hukum adalah dua hal yang tak terpisahkan. [2]
Hukum Progresif seringkali dipertentangkan dengan hukum beraliran positivisme. Dalam hukum beraliran positivis, manusia adalah objek dari peraturan.[3] Sadar akan fakta bahwa manusia tidak hanya diatur oleh hukum, maka menurut aliran ini, hukum harus dibuat spesifik sehingga hukum dapat dibedakan dari norma-norma lainnya. Berkebalikan dengan positivis, menurut aliran hukum progresif, hukum tidak dapat ditegakkan hanya dengan membawa peraturan saja, tetapi juga harus menimbang nilai dan cita cita yang ingin diwujudkan oleh hukum, yang tidak mudah dibaca dalam peraturan. Disinilah hukum dimaknai tidak semata mata sebagai “alat”, melainkan juga sarana mengekspresikan nilai dan moral. Pembacaan hukum harus benar-benar jeli, tidak terjebak hanya dalam klausa yang tertulis di dalam pasal, melainkan membaca makna yang ada dibaliknya dan justru jadi tujuan dari keseluruhan undang-undang.
Hukum lahir dari manusia itu sendiri. Tujuan dibuatnya tak lain adalah untuk kebahagiaan manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Hukum progresif tidak akan pernah berhenti mempertimbangkan daya tawar “manusia” dalam menjalankan hukum; bagi aliran ini, manusia adalah yang paling dipertuan, bukan hukumnya. Manusia adalah subjek, bukan objek hukum.
Dalam bukunya, Satjipto Raharjo menuliskan perumpamaan yang baik sekali tentang hukum progresif. Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Manusia adalah mahluk yang berkelompok, seperti semut, lebah, dan lainnya. Perbedaannya, komunitas semut lahir secara alamiah, sedangkan tatanan yang ada pada manusia boleh dikatakan sebagai tatanan yang sengaja dibuat. [4]
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri manakala dirasakan sudah tidak cocok lagi. Sepanjang sejarahnya, manusia meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan mematuhi hukum , dan merobohkannya, meski yang dirobohkan adalah tatanan buatannya sendiri.[5] Kelahiran hukum yang bersifat mengikat dan mengekang, tidak serta merta membuatnya sukses terus menerus mengikat manusia yang telah membuatnya, pada akhirnya harus ada patahan dan pembuatan suatu kerangka baru, agar manusia yang dinamis itu dapat merasa nyaman lagi diikat oleh tatanan bernama hukum tersebut.
Penemuan Hukum Progresif vs Penemuan Hukum Konservatif
Dalam konteks kebebasan hakim, kita tentu harus membicarakan terlebih dahulu tentang apa yang biasa kita sebut Rechtvinding (penemuan hukum). Penemuan hukum sendiri memiliki makna kegiatan menetapkan peraturan hukum yang bersifat abstrak terhadap peristiwa konkret. Kegiatan penemuan hukum ini merupakan kegiatan yuridis yang pokok dalam proses mengadili karena hakim “bebas” untuk menterjemahkan makna dan rasio undang-undang.[6]
Dalam penemuan hukum, aliran penemuan hukum progresif sering dipertentangkan dengan aliran penemuan hukum konservatif. Pembagian kedua jenis penemuan hukum ini dilakukan oleh Sudikno Mertokusumo dan juga oleh Ronald Dworkin. Ia menyatakan :
“the bad judge, on the minority view, is the rigid “mechanical”, judge who enforce the law for its own sake with no care from misery of injustice or inefficienct tht follows. The good judge prefer justice to law.
Aliran Penemuan hukum Progresif, berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan sosial, sedangkan aliran penemuan hukum konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan hanya untuk mencegah kemerosotan moral. Bahayanya, pada penemuan konservatif, kinerja hakim tunduk sepenuhnya pada undang-undang. Hakim hanya mengkonstantir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa hukum yang sedang diperkarakan. Penemuan hukum ini, hanyalah merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis-terpaksa sebagai silogisme. [7]
Bagaimana dengan Kasus PEMIRA UI?
Selain menemukan hukum, hakim juga harus membaca undang-undang, dalam artian menafsirkannya. Baca disini bukan sekedar membaca, melainkan mencari makna, nilai-nilai apa yang sejatinya ada dalam pasal yang menjadi tujuan dari setiap diksinya. Menurut Undang-Undang Dasar IKM UI, yang berhak untuk menafsirkan UUD tersebut hanyalah hakim Mahkamah Mahasiwa. Selain mendapat kewenangan itu, hakim Mahkamah Mahasiswa juga mendapat wewenang untuk menegakkan hukum dan keadilan. Untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, hakim MM harus memastikan terjadinya kepastian hukum, sekaligus keadilannya secara bersamaan. Oleh sebab itu, peran Mahkamah Mahasisa dalam kasus ini sangatlah sentral.
Mengenai Gugatan tentang Syarat IPK
Dalam peraturan PEMIRA sebelumnya, syarat IPK minimun untuk bakal calon peserta adalah 2.75. Selama persidangan, banyak saksi ahli yang telah memberikan komentar dan argumennya tentang syarat IPK tersebut. Dari pihak DPM, dikatakan bahwa syarat IPK tersebut muncul dari kebiasaan yang ada di dalam Universitas Indonesia. Selain itu pula, angka 2.75 muncul dari persyaratan diterimanya seseorang untuk menjadi Calon PNS. Pun, pihak DPM UI mengatakan bahwa akan ada kekhawatiran bila IPK bakal calon dibawah 2.75, maka di tahun menjabat, bakal calon ini malah terancam DO. Sedangkan dari pihak pemohon, dihadirkan saksi ahli yang merupakan Ketua BEM Fakultas Hukum 2013, Ariwijaya. Ariwijaya memaparkan bahwa persyaratan IPK tidak mempunyai landasan yuridis yang kuat, karena bila mengacu kepada SK Rektor, maka angka yang seharusnya menjadi acuan adalah IPK sebesar 2.00. Menurut Ariwijaya, UU Pemira menempatkan standar ganda karena dalam persyaratan disebutkan juga bakal calon tidak terancam putus studi. Tidak terancam putus studi membuktikan bahwa UU Pemira menggunakan SK Rektor sebagai acuan, sedangkan pada syarat IPK, SK Rektor tersebut tidak dijadikan acuan. Selain keterangan saksi, pihak pemohon juga membawa hasil riset yang dimuat dalam New York Times tentang hasil penelitian HRD perusahaan Google. Riset tersebut membuktikan tidak ada korelasi antara GPA dengan kualitas kerjanya. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil riset Universitas Arizona tersebut mengatakan bahwa seharusnya, kegiatan kemahasiswaan melibatkan semua kalangan mahasiswa sekalipun GPA-nya dibawah rata rata.
Pertanggungjawaban hakim terhadap putusan berkaitan dengan pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat. Putusan pengadilan diharapkan bisa menjadi sarana untuk menyelesaikan problem masyarakat. Oleh sebab itu maka substansi putusan harus memuat perimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang mengakomodasi nilai nilai hukum tidak tertulis yang ada di masyarakat, sehingga mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan hakim kepada masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan.
Menanggapi berbagai keterangan saksi dan bukti bukti lainnya yang dibawa oleh pemohon, Majelis Hakim memutuskan untuk menghapuskan syarat IPK. Hal ini dikarenakan banyak pertimbangan sosiologis dan filosofis yang hakim jadikan dasar mengapa pada akhirnya syarat IPK memang tidak seharusnya dijadikan tolak ukur. Pertimbangan hakim tersebut antara lain:
Mengenai Gugatan tentang Syarat Pengunduran Diri dari Jabatan Struktural
Gugatan kedua adalah mengenai syarat pengunduran diri bakal calon peserta PEMIRA UI dari segala jenis jabatan struktural baik dalam organisasi tingkat fakultas maupun tingkat universitas. Menurut pendapat DPM UI, peraturan ini dibuat untuk menghindari adanya penyalahgunaan jabatan untuk dipakai sebagai alat mempromosikan diri, diharapkan semua posisi peserta PEMIRA seimbang.
Pemohon membawa satu orang saksi ahli yang menjadi korban atas peraturan tersebut ditahun lalu. Ia adalah wakil ketua BEM UI yang sedang menjabat sekarang, Azhar. Tahun lalu, ketika mencalonkan diri sebagai wakil ketua BEM UI, Azhar tengah menjabat sebagai ketua BEM FKM UI. Menurut pengalamannya, muncul dampak yang begitu besar terhadap organisasi yang ditinggalkannya. Yang pertama adalah peranan sebagai ketua tidak dapat didelegasikan. hal ini menurunkan motivasi kerja anggota BEM FKM yang masih harus melaksanakan beberapa kegiatan pasca mundurnya ketua bemnya. Yang kedua adalah masalah beban moral ketika mengajukan surat pengunduran diri, hal ini diperparah dengan kondisi kultur organisasi di FKM yang menganggap mengundurkan diri adalah dosa besar, bukti tidak setianya seseorang terhadap organisasinya.
Pertimbangan yang bersifat sosiologis itu diperkuat dengan argumen dari keterangan Ariwijaya yang mengatakan bahwa syarat mundurnya sebenarnya hanyalah kebiasaan yang mengharapkan peserta pemira fokus.
Pendapat hakim menyikapi alasan-alasan tersebut adalah menyepakati apa yang dijadikan argumen oleh pihak pemohon. Hakim menyatakan bahwa peraturan PEMIRA tidak boleh mengabaikan hak anggota IKM nya untuk menuntaskan kewajiban dan haknya atas jabatan asalnya. Pun tidak adil pula bagi lembaga yang ditinggalkan karena dapat menyebabkan instabilitas, apalagi bakal calon peserta PEMIRA banyak yang memegang jabatan struktural di tingkat fakultas.
Masalah kekhawatiran DPM UI akan diselewengkannya jabatan struktural apabila mundur dari jabatan tidak dijadikan kewajiban, Hakim Mahkamah Mahasiswa menjamin dengan adanya Komite Pengawas Pemira dan Panitia Pemira yang merupakan badan independen. Pengaturan untuk menghindari penyalahgunaan jabatan tidak perlu diatur dalam undang undang, namun cukup melalui peraturan peraturan teknis. Sehingga kekhawatiran untuk menutup celah penyimpangan dalam pemira UI tidak berlebihan mencederai hak anggota IKM UI.
Kesimpulan
Sejatinya, dalam konteks judicial review ini tengah dipertentangkan antara keadilan prosedural dan keadilan materil. Keadilan prosedural membicarakan tentang kepastian dijalankannya suatu prosedur agar suatu keadilan materil dapat tercapai. Yang dibicarakan adalah masalah prosudur penegakan hukum tertentu. Dalam kasus Putusan Mahkamah Mahasiswa, keadilan proseduralnya adalah dijalankannya persyaratan administratif untuk bakal calon peserta PEMIRA UI. Sedangkan keadilan materil membicarakan semangat apa yang menjadi dasar dibalik adanya suatu peraturan. Dalam konteks peraturan PEMIRA, yang menjadi postulat hukumnya sejatinya adalah pembelajaran politik bagi para mahasiswanya. Selain itu, PEMIRA merupakan suatu wadah untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi mahasiswa yang ingin berkontribusi dan berkarya didalam organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia.
Dalam pertentangan antara keadilan prosedural dan keadilan materil, hukum progresif akan lebih mementingkan keadilan materil. Hal ini senada dengan adagium yang berlaku “Equity must Prevail”, apabila peraturan menghalangi tercapainya tujuan hukum, maka peraturan tersebutlah yang harus dibuat kalah dengan tujuan atau makna utama undang undangnya.
Sebagai kesimpulan, keberanian hakim Mahkamah Mahasiswa untuk memutuskan keputusan yang kontroversial dan tak biasa patut diapresiasi. Tindakan majelis Hakim Mahkamah Mahasiswa yang dalam menafsirkan pasal tidak hanya seperti yang tertuliskan didalam undang undangnya melainkan sangat mempertimbangkan kebutuhan masyarakatnya adalah pertanda bahwa hukum progresif telah dijalankan.
“Hukum ada Untuk Manusia, bukan Manusia untuk Hukum”- Satjipto Rahardjo
Ada apa di PEMIRA UI?
Bulan lalu, media sosial mahasiswa UI tengah hangat-hangatnya membicarakan suatu isu: Pemira UI. Bagi sebagian mahasiswa UI, bulan November merupakan bulan yang memuakkan, dimana teman dan lawan dapat dengan mudah bertukar posisi. Namun bagi sebagian kecil lainnya, bulan ini akan menjadi bulan yang “menyenangkan” untuk diamati karena kontroversi yang sedang mencuat ke permukaan, seperti halnya kontroversi yang pertama kali muncul sebelum masa pemira dimulai: Judicial Review Peraturan Pemilu oleh salah satu bakal calon wakil ketua BEM UI, Ahmad Mujahid.
Judicial review ini diajukan untuk menguji persyaratan yang tercantum dalam Undang Undang No. 1 tahun 2013 tentang Pemilihan Raya Ikatan Keluarga Mahasiswa UI pasal 26, 31, dan pasal 36 masing masing poin “d” dan poin “g”. Poin “d” dan poin “g” pada ketiga pasal tersebut berbunyi sama; tiap tiap peserta pemilu, baik itu yang ingin mengajukan diri untuk lembaga DPM UI, BEM UI, dan MWA UI UM, harus memiliki IPK Minimal sebesar 2.75 dan poin “d” berbunyi bahwa setiap bakal calon harus melepaskan segala jabatan struktural yang melekat padanya, baik pada tingkat fakultas maupun tingkat universitas.
Alasan pengajuan judicial review tersebut selain karena pemohon merasa terlanggar hak konstitusionalnya adalah ketiadaan dasar hukum dalam menentukan standar IPK tersebut merupakan. Yang lebih buruk, ketentuan ini juga mencederai hak untuk berpartisipasi dalam PEMIRA bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Padahal, menurut Undang-Undang PD IKM, setiap mahasiswa Universitas Indonesia berhak untuk turut memilih dan dipilih dalam kontestasi PEMIRA Universitas Indonesia. Sedangkan argumen yang dibawa Ahmad Mujahhid terkait poin “d” adalah bahwa bulan-bulan November tahun ini merupakan bulan yang juga ramai dengan isu pemilihan dekan. Bila diperhatikan, mereka yang maju sebagai calon ketua DPM, BEM, ataupun MWA merupakan mereka yang banyak memegang jabatan di tingkat fakultas. Akan sangat sulit untuk fakultas yang ditinggalkan apabila terjadi pergantian struktur disisa sebulan masa kepengurusan lembaga mereka di fakultas dengan kondisi pergantian dekan.
Pengajuan gugatan atas pasal ini pun menuai pro dan kontra. Banyak pertanyaan yang muncul akibat putusan kontroversial Hakim MM tersebut. Bagi yang pro, putusan tersebut sudah tepat karena dirasa memenuhi tujuan utama dari pemira tersebut, yaitu membuka seluas luasnya kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan terlibat secara langsung tentang demokrasi. Sedangkan bagi pihak kontra, IPK 2.75 adalah angka yang tepat untuk menjadikan seseorang “pantas” menjabat sebagai pejabat publik di tingkat mahasiswa Universitas Indonesia. Angka tersebut seolah disepakati sebagai tolak ukur apakah bakal calon tersebut telah melaksanakan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa untuk bertanggung jawab secara akademis. Pembatasan angka 2.75 tidak hanya terjadi dalam kontestasi PEMIRA UI, melainkan hingga ke pemilihan Project Officer acara acara setingkat kampus sekalipun.
Melawan hukum tertulisnya, Ketua Hakim Mahkamah Mahasiswa, Normand Edwin, telah memutuskan untuk mengabulkan semua permohonan tersebut. Kedua pasal yang digugat, baik yang berkaitan dengan pengunduran diri dari jabatan struktural di Fakultas, dan pasal yang mengatur batas IPK minimum, Ia kabulkan tanpa syarat. Lantas, apakah keputusan tersebut telah benar-benar “adil”?
Kasus ini menarik hati penulis untuk dikaji karena sebagai mahasiswa, penulis nyata-nyata terlibat didalamnya. Pembelajaran paling baik adalah ketika kita mengalaminya secara langsung, senada dengan kutipan dari Confucius, “When I hear, I forget. When I see, I remember. When I do, I Understand.” Penulis mencoba mengambil jarak dari peristiwa dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi. Penulisan ini mencoba untuk menerka, bagaimanakah kesesuaian putusan hakim Mahkamah Mahasiswa dengan rasa keadilan masyarakat? Apakah telah dapat kita kategorikan sebagai hukum progresif?
Mengenal Hukum Progresif
Hukum adalah lembaga yang berfungsi untuk melakukan pengaturan masyarakat, sehingga berkaitan erat dengan perilaku anggota masyarakat hukum tersebut. Hukum mengatur bukan untuk kepentingan hukum itu sendiri, melainkan berinteraksi dengan masyarakat dan anggota masyarakat.[1] Hal ini senada pula dengan teori Volkgeist yang merupakan buah pikiran Von Savigny, seorang Juris asal Jerman. Secara etimologis, Volkgeist dapat diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai “the general or common consciousness or the popular spirit of the people”. Savigny percaya bahwa hukum adalah produk dari kesadaran masyarakat yang merupakan manifesto spirit yang mereka bawa. Baginya, antara manusia dan hukum adalah dua hal yang tak terpisahkan. [2]
Hukum Progresif seringkali dipertentangkan dengan hukum beraliran positivisme. Dalam hukum beraliran positivis, manusia adalah objek dari peraturan.[3] Sadar akan fakta bahwa manusia tidak hanya diatur oleh hukum, maka menurut aliran ini, hukum harus dibuat spesifik sehingga hukum dapat dibedakan dari norma-norma lainnya. Berkebalikan dengan positivis, menurut aliran hukum progresif, hukum tidak dapat ditegakkan hanya dengan membawa peraturan saja, tetapi juga harus menimbang nilai dan cita cita yang ingin diwujudkan oleh hukum, yang tidak mudah dibaca dalam peraturan. Disinilah hukum dimaknai tidak semata mata sebagai “alat”, melainkan juga sarana mengekspresikan nilai dan moral. Pembacaan hukum harus benar-benar jeli, tidak terjebak hanya dalam klausa yang tertulis di dalam pasal, melainkan membaca makna yang ada dibaliknya dan justru jadi tujuan dari keseluruhan undang-undang.
Hukum lahir dari manusia itu sendiri. Tujuan dibuatnya tak lain adalah untuk kebahagiaan manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Hukum progresif tidak akan pernah berhenti mempertimbangkan daya tawar “manusia” dalam menjalankan hukum; bagi aliran ini, manusia adalah yang paling dipertuan, bukan hukumnya. Manusia adalah subjek, bukan objek hukum.
Dalam bukunya, Satjipto Raharjo menuliskan perumpamaan yang baik sekali tentang hukum progresif. Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Manusia adalah mahluk yang berkelompok, seperti semut, lebah, dan lainnya. Perbedaannya, komunitas semut lahir secara alamiah, sedangkan tatanan yang ada pada manusia boleh dikatakan sebagai tatanan yang sengaja dibuat. [4]
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri manakala dirasakan sudah tidak cocok lagi. Sepanjang sejarahnya, manusia meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan mematuhi hukum , dan merobohkannya, meski yang dirobohkan adalah tatanan buatannya sendiri.[5] Kelahiran hukum yang bersifat mengikat dan mengekang, tidak serta merta membuatnya sukses terus menerus mengikat manusia yang telah membuatnya, pada akhirnya harus ada patahan dan pembuatan suatu kerangka baru, agar manusia yang dinamis itu dapat merasa nyaman lagi diikat oleh tatanan bernama hukum tersebut.
Penemuan Hukum Progresif vs Penemuan Hukum Konservatif
Dalam konteks kebebasan hakim, kita tentu harus membicarakan terlebih dahulu tentang apa yang biasa kita sebut Rechtvinding (penemuan hukum). Penemuan hukum sendiri memiliki makna kegiatan menetapkan peraturan hukum yang bersifat abstrak terhadap peristiwa konkret. Kegiatan penemuan hukum ini merupakan kegiatan yuridis yang pokok dalam proses mengadili karena hakim “bebas” untuk menterjemahkan makna dan rasio undang-undang.[6]
Dalam penemuan hukum, aliran penemuan hukum progresif sering dipertentangkan dengan aliran penemuan hukum konservatif. Pembagian kedua jenis penemuan hukum ini dilakukan oleh Sudikno Mertokusumo dan juga oleh Ronald Dworkin. Ia menyatakan :
“the bad judge, on the minority view, is the rigid “mechanical”, judge who enforce the law for its own sake with no care from misery of injustice or inefficienct tht follows. The good judge prefer justice to law.
Aliran Penemuan hukum Progresif, berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan sosial, sedangkan aliran penemuan hukum konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan hanya untuk mencegah kemerosotan moral. Bahayanya, pada penemuan konservatif, kinerja hakim tunduk sepenuhnya pada undang-undang. Hakim hanya mengkonstantir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa hukum yang sedang diperkarakan. Penemuan hukum ini, hanyalah merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis-terpaksa sebagai silogisme. [7]
Bagaimana dengan Kasus PEMIRA UI?
Selain menemukan hukum, hakim juga harus membaca undang-undang, dalam artian menafsirkannya. Baca disini bukan sekedar membaca, melainkan mencari makna, nilai-nilai apa yang sejatinya ada dalam pasal yang menjadi tujuan dari setiap diksinya. Menurut Undang-Undang Dasar IKM UI, yang berhak untuk menafsirkan UUD tersebut hanyalah hakim Mahkamah Mahasiwa. Selain mendapat kewenangan itu, hakim Mahkamah Mahasiswa juga mendapat wewenang untuk menegakkan hukum dan keadilan. Untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, hakim MM harus memastikan terjadinya kepastian hukum, sekaligus keadilannya secara bersamaan. Oleh sebab itu, peran Mahkamah Mahasisa dalam kasus ini sangatlah sentral.
Mengenai Gugatan tentang Syarat IPK
Dalam peraturan PEMIRA sebelumnya, syarat IPK minimun untuk bakal calon peserta adalah 2.75. Selama persidangan, banyak saksi ahli yang telah memberikan komentar dan argumennya tentang syarat IPK tersebut. Dari pihak DPM, dikatakan bahwa syarat IPK tersebut muncul dari kebiasaan yang ada di dalam Universitas Indonesia. Selain itu pula, angka 2.75 muncul dari persyaratan diterimanya seseorang untuk menjadi Calon PNS. Pun, pihak DPM UI mengatakan bahwa akan ada kekhawatiran bila IPK bakal calon dibawah 2.75, maka di tahun menjabat, bakal calon ini malah terancam DO. Sedangkan dari pihak pemohon, dihadirkan saksi ahli yang merupakan Ketua BEM Fakultas Hukum 2013, Ariwijaya. Ariwijaya memaparkan bahwa persyaratan IPK tidak mempunyai landasan yuridis yang kuat, karena bila mengacu kepada SK Rektor, maka angka yang seharusnya menjadi acuan adalah IPK sebesar 2.00. Menurut Ariwijaya, UU Pemira menempatkan standar ganda karena dalam persyaratan disebutkan juga bakal calon tidak terancam putus studi. Tidak terancam putus studi membuktikan bahwa UU Pemira menggunakan SK Rektor sebagai acuan, sedangkan pada syarat IPK, SK Rektor tersebut tidak dijadikan acuan. Selain keterangan saksi, pihak pemohon juga membawa hasil riset yang dimuat dalam New York Times tentang hasil penelitian HRD perusahaan Google. Riset tersebut membuktikan tidak ada korelasi antara GPA dengan kualitas kerjanya. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil riset Universitas Arizona tersebut mengatakan bahwa seharusnya, kegiatan kemahasiswaan melibatkan semua kalangan mahasiswa sekalipun GPA-nya dibawah rata rata.
Pertanggungjawaban hakim terhadap putusan berkaitan dengan pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat. Putusan pengadilan diharapkan bisa menjadi sarana untuk menyelesaikan problem masyarakat. Oleh sebab itu maka substansi putusan harus memuat perimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang mengakomodasi nilai nilai hukum tidak tertulis yang ada di masyarakat, sehingga mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan hakim kepada masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan.
Menanggapi berbagai keterangan saksi dan bukti bukti lainnya yang dibawa oleh pemohon, Majelis Hakim memutuskan untuk menghapuskan syarat IPK. Hal ini dikarenakan banyak pertimbangan sosiologis dan filosofis yang hakim jadikan dasar mengapa pada akhirnya syarat IPK memang tidak seharusnya dijadikan tolak ukur. Pertimbangan hakim tersebut antara lain:
- Setiap orang, dengan mempertimbangkan individual difference nya, memiliki cara yang berbeda dalam berkembang dan meng-upgrade diri. Ada yang dapat berkembang melalui memperbanyak interaksi dengan sesama manusia, ada pula yang dapat berkembang dengan memfokuskan diri pada riset dan akademis, masing-masing orang memiliki passion yang unik dan berbeda. Menghalangi mahasiswa untuk tidak berkarya di tingkat UI adalah peraturan yang kurang “manusiawi”. Apakah akan ada penurunan kualitas akademis pasca seseorang menjabat merupakan suatu ketidakpastian yang tak seharusnya menutup adanya kemungkinan seseorang untuk mengajukan diri sebagai bakal calon peserta PEMIRA Universitas Indonesia.
- Dengan menghapuskan syarat IPK minimal 2.75 tidak menyimpangi unsur tridharma perguruan tinggi yang pertama, yaitu pendidikan. Unsur pendidikan tersebut sejatinya telah terpenuhi dengan kenyataan bahwa pemohon tidak dalam masa terancam DO.
- Memberikan syarat IPK Minimal 2.75 justru mengesankan adanya marjinalisasi mahasiswa dengan IPK rendah. Tidak adil jika syarat tersebut malah mengekang mereka untuk memperoleh pembelajaran hanya dari dinding-dinding kelas.
- Syarat IPK 2.75 adalah syarat yang terlanjur menjadi dogma dalam setiap peraturan mengenai organisasi di tingkat UI. Kebiasaan yang tertulis dalam berbagai peraturan itu telah mengkungkung pemikiran masyarakat UI bahwa yang benar adalah 2.75. Dalam hal ini, peraturan telah menjadi hal yang telalu kaku. Dalam hukum progresif, ketika peraturan dirasa sudah tak cocok lagi, maka perlu diadakan breaking the rule.
- Alasan yang berbunyi “pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri baru bisa memimpin” tidak bisa dijadikan penghalang bagi seseorang karena tidak ada korelasi antara IPK dengan skill kepemimpinan seseorang. Mekanisme paling adil adalah menyerahkannya calon tersebut untuk dinilai secara demokratis oleh publik.
Mengenai Gugatan tentang Syarat Pengunduran Diri dari Jabatan Struktural
Gugatan kedua adalah mengenai syarat pengunduran diri bakal calon peserta PEMIRA UI dari segala jenis jabatan struktural baik dalam organisasi tingkat fakultas maupun tingkat universitas. Menurut pendapat DPM UI, peraturan ini dibuat untuk menghindari adanya penyalahgunaan jabatan untuk dipakai sebagai alat mempromosikan diri, diharapkan semua posisi peserta PEMIRA seimbang.
Pemohon membawa satu orang saksi ahli yang menjadi korban atas peraturan tersebut ditahun lalu. Ia adalah wakil ketua BEM UI yang sedang menjabat sekarang, Azhar. Tahun lalu, ketika mencalonkan diri sebagai wakil ketua BEM UI, Azhar tengah menjabat sebagai ketua BEM FKM UI. Menurut pengalamannya, muncul dampak yang begitu besar terhadap organisasi yang ditinggalkannya. Yang pertama adalah peranan sebagai ketua tidak dapat didelegasikan. hal ini menurunkan motivasi kerja anggota BEM FKM yang masih harus melaksanakan beberapa kegiatan pasca mundurnya ketua bemnya. Yang kedua adalah masalah beban moral ketika mengajukan surat pengunduran diri, hal ini diperparah dengan kondisi kultur organisasi di FKM yang menganggap mengundurkan diri adalah dosa besar, bukti tidak setianya seseorang terhadap organisasinya.
Pertimbangan yang bersifat sosiologis itu diperkuat dengan argumen dari keterangan Ariwijaya yang mengatakan bahwa syarat mundurnya sebenarnya hanyalah kebiasaan yang mengharapkan peserta pemira fokus.
Pendapat hakim menyikapi alasan-alasan tersebut adalah menyepakati apa yang dijadikan argumen oleh pihak pemohon. Hakim menyatakan bahwa peraturan PEMIRA tidak boleh mengabaikan hak anggota IKM nya untuk menuntaskan kewajiban dan haknya atas jabatan asalnya. Pun tidak adil pula bagi lembaga yang ditinggalkan karena dapat menyebabkan instabilitas, apalagi bakal calon peserta PEMIRA banyak yang memegang jabatan struktural di tingkat fakultas.
Masalah kekhawatiran DPM UI akan diselewengkannya jabatan struktural apabila mundur dari jabatan tidak dijadikan kewajiban, Hakim Mahkamah Mahasiswa menjamin dengan adanya Komite Pengawas Pemira dan Panitia Pemira yang merupakan badan independen. Pengaturan untuk menghindari penyalahgunaan jabatan tidak perlu diatur dalam undang undang, namun cukup melalui peraturan peraturan teknis. Sehingga kekhawatiran untuk menutup celah penyimpangan dalam pemira UI tidak berlebihan mencederai hak anggota IKM UI.
Kesimpulan
Sejatinya, dalam konteks judicial review ini tengah dipertentangkan antara keadilan prosedural dan keadilan materil. Keadilan prosedural membicarakan tentang kepastian dijalankannya suatu prosedur agar suatu keadilan materil dapat tercapai. Yang dibicarakan adalah masalah prosudur penegakan hukum tertentu. Dalam kasus Putusan Mahkamah Mahasiswa, keadilan proseduralnya adalah dijalankannya persyaratan administratif untuk bakal calon peserta PEMIRA UI. Sedangkan keadilan materil membicarakan semangat apa yang menjadi dasar dibalik adanya suatu peraturan. Dalam konteks peraturan PEMIRA, yang menjadi postulat hukumnya sejatinya adalah pembelajaran politik bagi para mahasiswanya. Selain itu, PEMIRA merupakan suatu wadah untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi mahasiswa yang ingin berkontribusi dan berkarya didalam organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia.
Dalam pertentangan antara keadilan prosedural dan keadilan materil, hukum progresif akan lebih mementingkan keadilan materil. Hal ini senada dengan adagium yang berlaku “Equity must Prevail”, apabila peraturan menghalangi tercapainya tujuan hukum, maka peraturan tersebutlah yang harus dibuat kalah dengan tujuan atau makna utama undang undangnya.
Sebagai kesimpulan, keberanian hakim Mahkamah Mahasiswa untuk memutuskan keputusan yang kontroversial dan tak biasa patut diapresiasi. Tindakan majelis Hakim Mahkamah Mahasiswa yang dalam menafsirkan pasal tidak hanya seperti yang tertuliskan didalam undang undangnya melainkan sangat mempertimbangkan kebutuhan masyarakatnya adalah pertanda bahwa hukum progresif telah dijalankan.
-Camila Bani Alawia
dibuat untuk ujian matakuliah Sosiologi Hukum
Daftar Pustaka
[1] Pajar Widodo, Menjadi Hakim Progresif, (Bandar lampung: Indepth Publishing: 2013), hlm. 50
[2] Neetij Rai, Basic Concept of Savigny’s Volksgeist, https://www.academia.edu/428817/BASIC_CONCEPT_OF_SAVIGNYS_VOLKSGEIST, diakses pada tanggal 17 Desember 2013
[3]Jimly Asshidiqie, “Teori Hans Kelsen tentang Hukum” http://www.jimly.com/pemikiran/getbuku/12%20teori%20tujuan%20hukum%20pdf, diakses pada tanggal 17 Desember 2013
[4] Satjipto Rahardjo, “Biarkan Hukum Mengalir”, (Jakarta: Kompas Gramedia: 2007) hlm. 7
[5] Ibid
[6] Sudikno Mertokusumo, Bab Bab tentang Penemuan Hukum. (Bandung, Citra Aditya Bhakti: 1993), hlm 4.
[7] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar