Tulisan ini dibuat tahun 2013, tepatnya di bulan Desember
sebagai respon atas isu hangat tentang PEMIRA UI. Terkesan terlambat
dipublish di blogspot, tapi, semoga dapat memberi pelajaran.
“Hukum ada Untuk Manusia, bukan Manusia untuk Hukum”- Satjipto Rahardjo
Ada apa di PEMIRA UI?
Bulan lalu, media sosial mahasiswa UI tengah hangat-hangatnya
membicarakan suatu isu: Pemira UI. Bagi sebagian mahasiswa UI, bulan
November merupakan bulan yang memuakkan, dimana teman dan lawan dapat
dengan mudah bertukar posisi. Namun bagi sebagian kecil lainnya, bulan
ini akan menjadi bulan yang “menyenangkan” untuk diamati karena
kontroversi yang sedang mencuat ke permukaan, seperti halnya kontroversi
yang pertama kali muncul sebelum masa pemira dimulai:
Judicial Review Peraturan Pemilu oleh salah satu bakal calon wakil ketua BEM UI, Ahmad Mujahid.
Judicial review ini diajukan untuk menguji persyaratan yang
tercantum dalam Undang Undang No. 1 tahun 2013 tentang Pemilihan Raya
Ikatan Keluarga Mahasiswa UI pasal 26, 31, dan pasal 36 masing masing
poin “d” dan poin “g”. Poin “d” dan poin “g” pada ketiga pasal tersebut
berbunyi sama; tiap tiap peserta pemilu, baik itu yang ingin mengajukan
diri untuk lembaga DPM UI, BEM UI, dan MWA UI UM, harus memiliki IPK
Minimal sebesar 2.75 dan poin “d” berbunyi bahwa setiap bakal calon
harus melepaskan segala jabatan struktural yang melekat padanya, baik
pada tingkat fakultas maupun tingkat universitas.
Alasan pengajuan
judicial review tersebut selain karena
pemohon merasa terlanggar hak konstitusionalnya adalah ketiadaan dasar
hukum dalam menentukan standar IPK tersebut merupakan. Yang lebih buruk,
ketentuan ini juga mencederai hak untuk berpartisipasi dalam PEMIRA
bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Padahal, menurut Undang-Undang PD
IKM, setiap mahasiswa Universitas Indonesia berhak untuk turut memilih
dan dipilih dalam kontestasi PEMIRA Universitas Indonesia. Sedangkan
argumen yang dibawa Ahmad Mujahhid terkait poin “d” adalah bahwa
bulan-bulan November tahun ini merupakan bulan yang juga ramai dengan
isu pemilihan dekan. Bila diperhatikan, mereka yang maju sebagai calon
ketua DPM, BEM, ataupun MWA merupakan mereka yang banyak memegang
jabatan di tingkat fakultas. Akan sangat sulit untuk fakultas yang
ditinggalkan apabila terjadi pergantian struktur disisa sebulan masa
kepengurusan lembaga mereka di fakultas dengan kondisi pergantian
dekan.
Pengajuan gugatan atas pasal ini pun menuai pro dan kontra. Banyak
pertanyaan yang muncul akibat putusan kontroversial Hakim MM tersebut.
Bagi yang pro, putusan tersebut sudah tepat karena dirasa memenuhi
tujuan utama dari pemira tersebut, yaitu membuka seluas luasnya
kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan terlibat secara langsung
tentang demokrasi. Sedangkan bagi pihak kontra, IPK 2.75 adalah angka
yang tepat untuk menjadikan seseorang “pantas” menjabat sebagai pejabat
publik di tingkat mahasiswa Universitas Indonesia. Angka tersebut seolah
disepakati sebagai tolak ukur apakah bakal calon tersebut telah
melaksanakan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa untuk bertanggung
jawab secara akademis. Pembatasan angka 2.75 tidak hanya terjadi dalam
kontestasi PEMIRA UI, melainkan hingga ke pemilihan
Project Officer acara acara setingkat kampus sekalipun.
Melawan hukum tertulisnya, Ketua Hakim Mahkamah Mahasiswa, Normand
Edwin, telah memutuskan untuk mengabulkan semua permohonan tersebut.
Kedua pasal yang digugat, baik yang berkaitan dengan pengunduran diri
dari jabatan struktural di Fakultas, dan pasal yang mengatur batas IPK
minimum, Ia kabulkan tanpa syarat. Lantas, apakah keputusan tersebut
telah benar-benar “adil”?
Kasus ini menarik hati penulis untuk dikaji karena sebagai mahasiswa,
penulis nyata-nyata terlibat didalamnya. Pembelajaran paling baik
adalah ketika kita mengalaminya secara langsung, senada dengan kutipan
dari Confucius,
“When I hear, I forget. When I see, I remember. When I do, I Understand.” Penulis
mencoba mengambil jarak dari peristiwa dan menganalisis apa yang
sesungguhnya terjadi. Penulisan ini mencoba untuk menerka, bagaimanakah
kesesuaian putusan hakim Mahkamah Mahasiswa dengan rasa keadilan
masyarakat? Apakah telah dapat kita kategorikan sebagai hukum progresif?
Mengenal Hukum Progresif
Hukum adalah lembaga yang berfungsi untuk melakukan
pengaturan masyarakat, sehingga berkaitan erat dengan perilaku anggota
masyarakat hukum tersebut. Hukum mengatur bukan untuk kepentingan hukum
itu sendiri, melainkan berinteraksi dengan masyarakat dan anggota
masyarakat.
[1] Hal ini senada pula dengan teori
Volkgeist yang merupakan buah pikiran Von Savigny, seorang Juris asal Jerman. Secara etimologis,
Volkgeist dapat diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai “
the general or common consciousness or the popular spirit of the people”. Savigny percaya bahwa hukum adalah produk dari kesadaran masyarakat yang merupakan manifesto
spirit yang mereka bawa. Baginya, antara manusia dan hukum adalah dua hal yang tak terpisahkan.
[2]
Hukum Progresif seringkali dipertentangkan dengan hukum beraliran
positivisme. Dalam hukum beraliran positivis, manusia adalah objek dari
peraturan.
[3]
Sadar akan fakta bahwa manusia tidak hanya diatur oleh hukum, maka
menurut aliran ini, hukum harus dibuat spesifik sehingga hukum dapat
dibedakan dari norma-norma lainnya. Berkebalikan dengan positivis,
menurut aliran hukum progresif, hukum tidak dapat ditegakkan hanya
dengan membawa peraturan saja, tetapi juga harus menimbang nilai dan
cita cita yang ingin diwujudkan oleh hukum, yang tidak mudah dibaca
dalam peraturan. Disinilah hukum dimaknai tidak semata mata sebagai
“alat”, melainkan juga sarana mengekspresikan nilai dan moral. Pembacaan
hukum harus benar-benar jeli, tidak terjebak hanya dalam klausa yang
tertulis di dalam pasal, melainkan membaca makna yang ada dibaliknya dan
justru jadi tujuan dari keseluruhan undang-undang.
Hukum lahir dari manusia itu sendiri. Tujuan dibuatnya tak lain
adalah untuk kebahagiaan manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Hukum
progresif tidak akan pernah berhenti mempertimbangkan daya tawar
“manusia” dalam menjalankan hukum; bagi aliran ini, manusia adalah yang
paling dipertuan, bukan hukumnya. Manusia adalah subjek, bukan objek
hukum.
Dalam bukunya, Satjipto Raharjo menuliskan perumpamaan yang baik
sekali tentang hukum progresif. Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial,
manusia tidak bisa hidup di luar jejaring tatanan, bagaimana dan apapun
bentuknya. Manusia adalah mahluk yang berkelompok, seperti semut, lebah,
dan lainnya. Perbedaannya, komunitas semut lahir secara alamiah,
sedangkan tatanan yang ada pada manusia boleh dikatakan sebagai tatanan
yang sengaja dibuat.
[4]
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada
waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang
dibuatnya sendiri manakala dirasakan sudah tidak cocok lagi. Sepanjang
sejarahnya, manusia meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu
membangun dan mematuhi hukum , dan merobohkannya, meski yang dirobohkan
adalah tatanan buatannya sendiri.
[5]
Kelahiran hukum yang bersifat mengikat dan mengekang, tidak serta merta
membuatnya sukses terus menerus mengikat manusia yang telah membuatnya,
pada akhirnya harus ada patahan dan pembuatan suatu kerangka baru, agar
manusia yang dinamis itu dapat merasa nyaman lagi diikat oleh tatanan
bernama hukum tersebut.
Penemuan Hukum Progresif vs Penemuan Hukum Konservatif
Dalam konteks kebebasan hakim, kita tentu harus membicarakan terlebih dahulu tentang apa yang biasa kita sebut
Rechtvinding (penemuan
hukum). Penemuan hukum sendiri memiliki makna kegiatan menetapkan
peraturan hukum yang bersifat abstrak terhadap peristiwa konkret.
Kegiatan penemuan hukum ini merupakan kegiatan yuridis yang pokok dalam
proses mengadili karena hakim “bebas” untuk menterjemahkan makna dan
rasio undang-undang.
[6]
Dalam penemuan hukum, aliran penemuan hukum progresif
sering dipertentangkan dengan aliran penemuan hukum konservatif.
Pembagian kedua jenis penemuan hukum ini dilakukan oleh Sudikno
Mertokusumo dan juga oleh Ronald Dworkin. Ia menyatakan :
“the bad judge, on the minority view, is the rigid “mechanical”,
judge who enforce the law for its own sake with no care from misery of
injustice or inefficienct tht follows. The good judge prefer justice to
law.
Aliran Penemuan hukum Progresif, berpendapat bahwa hukum dan
peradilan merupakan alat untuk perubahan sosial, sedangkan aliran
penemuan hukum konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan hanya
untuk mencegah kemerosotan moral. Bahayanya, pada penemuan konservatif,
kinerja hakim tunduk sepenuhnya pada undang-undang. Hakim hanya
mengkonstantir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa hukum
yang sedang diperkarakan. Penemuan hukum ini, hanyalah merupakan
penerapan undang-undang yang terjadi secara logis-terpaksa sebagai
silogisme.
[7]
Bagaimana dengan Kasus PEMIRA UI?
Selain menemukan hukum, hakim juga harus membaca undang-undang, dalam
artian menafsirkannya. Baca disini bukan sekedar membaca, melainkan
mencari makna, nilai-nilai apa yang sejatinya ada dalam pasal yang
menjadi tujuan dari setiap diksinya. Menurut Undang-Undang Dasar IKM UI,
yang berhak untuk menafsirkan UUD tersebut hanyalah hakim Mahkamah
Mahasiwa. Selain mendapat kewenangan itu, hakim Mahkamah Mahasiswa juga
mendapat wewenang untuk menegakkan hukum dan keadilan. Untuk menjalankan
kedua fungsi tersebut, hakim MM harus memastikan terjadinya kepastian
hukum, sekaligus keadilannya secara bersamaan. Oleh sebab itu, peran
Mahkamah Mahasisa dalam kasus ini sangatlah sentral.
Mengenai Gugatan tentang Syarat IPK
Dalam peraturan PEMIRA sebelumnya, syarat IPK minimun untuk bakal
calon peserta adalah 2.75. Selama persidangan, banyak saksi ahli yang
telah memberikan komentar dan argumennya tentang syarat IPK tersebut.
Dari pihak DPM, dikatakan bahwa syarat IPK tersebut muncul dari
kebiasaan yang ada di dalam Universitas Indonesia. Selain itu pula,
angka 2.75 muncul dari persyaratan diterimanya seseorang untuk menjadi
Calon PNS. Pun, pihak DPM UI mengatakan bahwa akan ada kekhawatiran bila
IPK bakal calon dibawah 2.75, maka di tahun menjabat, bakal calon ini
malah terancam DO. Sedangkan dari pihak pemohon, dihadirkan saksi ahli
yang merupakan Ketua BEM Fakultas Hukum 2013, Ariwijaya. Ariwijaya
memaparkan bahwa persyaratan IPK tidak mempunyai landasan yuridis yang
kuat, karena bila mengacu kepada SK Rektor, maka angka yang seharusnya
menjadi acuan adalah IPK sebesar 2.00. Menurut Ariwijaya, UU Pemira
menempatkan standar ganda karena dalam persyaratan disebutkan juga bakal
calon tidak terancam putus studi. Tidak terancam putus studi
membuktikan bahwa UU Pemira menggunakan SK Rektor sebagai acuan,
sedangkan pada syarat IPK, SK Rektor tersebut tidak dijadikan acuan.
Selain keterangan saksi, pihak pemohon juga membawa hasil riset yang
dimuat dalam New York Times tentang hasil penelitian HRD perusahaan
Google. Riset tersebut membuktikan tidak ada korelasi antara GPA dengan
kualitas kerjanya. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil riset
Universitas Arizona tersebut mengatakan bahwa seharusnya, kegiatan
kemahasiswaan melibatkan semua kalangan mahasiswa sekalipun GPA-nya
dibawah rata rata.
Pertanggungjawaban hakim terhadap putusan berkaitan dengan
pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat. Putusan pengadilan
diharapkan bisa menjadi sarana untuk menyelesaikan problem masyarakat.
Oleh sebab itu maka substansi putusan harus memuat perimbangan yuridis,
sosiologis, dan filosofis yang mengakomodasi nilai nilai hukum tidak
tertulis yang ada di masyarakat, sehingga mencerminkan rasa keadilan
masyarakat. Hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan hakim kepada
masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan.
Menanggapi berbagai keterangan saksi dan bukti bukti
lainnya yang dibawa oleh pemohon, Majelis Hakim memutuskan untuk
menghapuskan syarat IPK. Hal ini dikarenakan banyak pertimbangan
sosiologis dan filosofis yang hakim jadikan dasar mengapa pada akhirnya
syarat IPK memang tidak seharusnya dijadikan tolak ukur. Pertimbangan
hakim tersebut antara lain:
- Setiap orang, dengan mempertimbangkan individual difference nya, memiliki cara yang berbeda dalam berkembang dan meng-upgrade
diri. Ada yang dapat berkembang melalui memperbanyak interaksi dengan
sesama manusia, ada pula yang dapat berkembang dengan memfokuskan diri
pada riset dan akademis, masing-masing orang memiliki passion
yang unik dan berbeda. Menghalangi mahasiswa untuk tidak berkarya di
tingkat UI adalah peraturan yang kurang “manusiawi”. Apakah akan ada
penurunan kualitas akademis pasca seseorang menjabat merupakan suatu
ketidakpastian yang tak seharusnya menutup adanya kemungkinan seseorang
untuk mengajukan diri sebagai bakal calon peserta PEMIRA Universitas
Indonesia.
- Dengan menghapuskan syarat IPK minimal 2.75 tidak menyimpangi unsur
tridharma perguruan tinggi yang pertama, yaitu pendidikan. Unsur
pendidikan tersebut sejatinya telah terpenuhi dengan kenyataan bahwa
pemohon tidak dalam masa terancam DO.
- Memberikan syarat IPK Minimal 2.75 justru mengesankan adanya
marjinalisasi mahasiswa dengan IPK rendah. Tidak adil jika syarat
tersebut malah mengekang mereka untuk memperoleh pembelajaran hanya dari
dinding-dinding kelas.
- Syarat IPK 2.75 adalah syarat yang terlanjur menjadi dogma dalam
setiap peraturan mengenai organisasi di tingkat UI. Kebiasaan yang
tertulis dalam berbagai peraturan itu telah mengkungkung pemikiran
masyarakat UI bahwa yang benar adalah 2.75. Dalam hal ini, peraturan
telah menjadi hal yang telalu kaku. Dalam hukum progresif, ketika
peraturan dirasa sudah tak cocok lagi, maka perlu diadakan breaking the rule.
- Alasan yang berbunyi “pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri
baru bisa memimpin” tidak bisa dijadikan penghalang bagi seseorang
karena tidak ada korelasi antara IPK dengan skill kepemimpinan
seseorang. Mekanisme paling adil adalah menyerahkannya calon tersebut
untuk dinilai secara demokratis oleh publik.
Dalam standingnya, Hakim Mahkamah Mahasiwsa berusaha mengatakan
bahwa jangan sampai ada pihak yang tercederai haknya untuk berkontribusi
dan berkarya hanya karena kakunya suatu peraturan yang tak jelas
asalnya. Keputusan paling adil menurut hakim MM adalah dengan membiarkan
publik UI yang menilai, apakah bakal calon yang IPK nya tersebut layak
untuk menjadi pemimpin mereka.
Mengenai Gugatan tentang Syarat Pengunduran Diri dari Jabatan Struktural
Gugatan kedua adalah mengenai syarat pengunduran diri
bakal calon peserta PEMIRA UI dari segala jenis jabatan struktural baik
dalam organisasi tingkat fakultas maupun tingkat universitas. Menurut
pendapat DPM UI, peraturan ini dibuat untuk menghindari adanya
penyalahgunaan jabatan untuk dipakai sebagai alat mempromosikan diri,
diharapkan semua posisi peserta PEMIRA seimbang.
Pemohon membawa satu orang saksi ahli yang menjadi korban
atas peraturan tersebut ditahun lalu. Ia adalah wakil ketua BEM UI yang
sedang menjabat sekarang, Azhar. Tahun lalu, ketika mencalonkan diri
sebagai wakil ketua BEM UI, Azhar tengah menjabat sebagai ketua BEM FKM
UI. Menurut pengalamannya, muncul dampak yang begitu besar terhadap
organisasi yang ditinggalkannya. Yang pertama adalah peranan sebagai
ketua tidak dapat didelegasikan. hal ini menurunkan motivasi kerja
anggota BEM FKM yang masih harus melaksanakan beberapa kegiatan pasca
mundurnya ketua bemnya. Yang kedua adalah masalah beban moral ketika
mengajukan surat pengunduran diri, hal ini diperparah dengan kondisi
kultur organisasi di FKM yang menganggap mengundurkan diri adalah dosa
besar, bukti tidak setianya seseorang terhadap organisasinya.
Pertimbangan yang bersifat sosiologis itu diperkuat
dengan argumen dari keterangan Ariwijaya yang mengatakan bahwa syarat
mundurnya sebenarnya hanyalah kebiasaan yang mengharapkan peserta pemira
fokus.
Pendapat hakim menyikapi alasan-alasan tersebut adalah
menyepakati apa yang dijadikan argumen oleh pihak pemohon. Hakim
menyatakan bahwa peraturan PEMIRA tidak boleh mengabaikan hak anggota
IKM nya untuk menuntaskan kewajiban dan haknya atas jabatan asalnya. Pun
tidak adil pula bagi lembaga yang ditinggalkan karena dapat menyebabkan
instabilitas, apalagi bakal calon peserta PEMIRA banyak yang memegang
jabatan struktural di tingkat fakultas.
Masalah kekhawatiran DPM UI akan diselewengkannya jabatan
struktural apabila mundur dari jabatan tidak dijadikan kewajiban, Hakim
Mahkamah Mahasiswa menjamin dengan adanya Komite Pengawas Pemira dan
Panitia Pemira yang merupakan badan independen. Pengaturan untuk
menghindari penyalahgunaan jabatan tidak perlu diatur dalam undang
undang, namun cukup melalui peraturan peraturan teknis. Sehingga
kekhawatiran untuk menutup celah penyimpangan dalam pemira UI tidak
berlebihan mencederai hak anggota IKM UI.
Kesimpulan
Sejatinya, dalam konteks judicial review ini tengah dipertentangkan
antara keadilan prosedural dan keadilan materil. Keadilan prosedural
membicarakan tentang kepastian dijalankannya suatu prosedur agar suatu
keadilan materil dapat tercapai. Yang dibicarakan adalah masalah
prosudur penegakan hukum tertentu. Dalam kasus Putusan Mahkamah
Mahasiswa, keadilan proseduralnya adalah dijalankannya persyaratan
administratif untuk bakal calon peserta PEMIRA UI. Sedangkan keadilan
materil membicarakan semangat apa yang menjadi dasar dibalik adanya
suatu peraturan. Dalam konteks peraturan PEMIRA, yang menjadi postulat
hukumnya sejatinya adalah pembelajaran politik bagi para mahasiswanya.
Selain itu, PEMIRA merupakan suatu wadah untuk membuka kesempatan
selebar-lebarnya bagi mahasiswa yang ingin berkontribusi dan berkarya
didalam organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia.
Dalam pertentangan antara keadilan prosedural dan keadilan materil,
hukum progresif akan lebih mementingkan keadilan materil. Hal ini senada
dengan adagium yang berlaku “Equity must Prevail”, apabila peraturan
menghalangi tercapainya tujuan hukum, maka peraturan tersebutlah yang
harus dibuat kalah dengan tujuan atau makna utama undang undangnya.
Sebagai kesimpulan, keberanian hakim Mahkamah Mahasiswa untuk
memutuskan keputusan yang kontroversial dan tak biasa patut diapresiasi.
Tindakan majelis Hakim Mahkamah Mahasiswa yang dalam menafsirkan pasal
tidak hanya seperti yang tertuliskan didalam undang undangnya melainkan
sangat mempertimbangkan kebutuhan masyarakatnya adalah pertanda bahwa
hukum progresif telah dijalankan.
-Camila Bani Alawia
dibuat untuk ujian matakuliah Sosiologi Hukum
Daftar Pustaka
[1] Pajar Widodo,
Menjadi Hakim Progresif, (Bandar lampung: Indepth Publishing: 2013), hlm. 50
[4] Satjipto Rahardjo, “Biarkan Hukum Mengalir”, (Jakarta: Kompas Gramedia: 2007) hlm. 7
[6] Sudikno Mertokusumo,
Bab Bab tentang Penemuan Hukum. (Bandung, Citra Aditya Bhakti: 1993), hlm 4.