“When women don’t
dress according to Shariah law, they‘re asking to get raped”- Ramli Mansur
Begitulah kalimat yang diucapkan oleh Bupati Aceh
Barat itu, tiga tahun silam. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kalimat
tersebut bukanlah hal yang terlalu dianggap serius, tapi reaksi pers
internasional sangat menyayangkan ucapan itu keluar dari pejabat Indonesia.
Namun Ramli Mansur tak sendiri, kalimatnya bahkan diamini oleh menteri dalam
negeri saat itu. Tak mau kalah, Fauzi Bowo pun mengucapkan hal bermakna sama
ketika kasus perkosaan didalam angkutan umum sedang marak-maraknya. Sialnya,
tak hanya mereka yang memegang kursi eksekutif yang berkata seperti itu, dari
ranah yudikatif pun tak jauh berbeda. Tentu nama Daming Sanusi masih akrab
ingatan kita ketika ia mengatakan antara korban dan pelaku perkosaan sama sama
menikmati.[1] Kalimat tersebut mungkin diucapkan tanpa berat hati,
namun bagi mereka yang memiliki empati tinggi dalam kasus perkosaan apalagi
korban, kalimat ini sungguh menusuk hati, melukai.
Contoh contoh diatas merupakan contoh betapa
masyarakat masih memiliki tendensi untuk menyalahkan korban dalam hal kasus
perkosaan. Tulisan ini akan membahas tentang betapa mindset seperti ini menjadi
sangat tidak adil bagi korban perkosaan, dan sebagai studi kasus, perkosaan
Sitok Srengenge kepada RW dapat kita jadikan pelajaran.
Bila dilihat lebih dalam, apa yang sebenarnya
terjadi dengan mereka yang disebutkan diawal? Mengapa orang sangat bersikeras
untuk menyalahkan korban padahal, ia tidak mendapatkan apa apa dari menyalahkan
korban tersebut?
Dalam ilmu psikologi, istilah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi tersebut adalah victim blaming tendencies. Victim Blaming
merupakan suatu mekanisme alamiah –namun tentu tidak adil- yang merupakan
bentuk denial atas kelemahan manusia dalam mengontrol hal hal diluar
kemampuannya. The more innocent a victim, the more threatening they are.[2] Hal
ini karena menyalahkan korban mampu memenuhi kebutuhan kita untuk tetap percaya
bahwa bumi adalah tempat yang selalu aman dan bermoral, dimana hal baik akan
selalu menimpa orang baik dan hal buruk hanya akan menimpa orang yang buruk.
Ketika hal buruk menimpa orang baik, maka hal tersebut membuktikan bahwa tak
akan ada orang yang bisa aman hidup di dunia – maka menyalahkan korban adalah
cara otak paling mudah untuk mempertahankan kepercayaan bahwa dunia aman. Fakta
bahwa keadaan “tidak beruntung” dapat menyerang siapa saja dan dimana saja
merupakan fakta yang menyeramkan oleh sebab itu, lebih menguntungkan untuk
di-denial saja.
Jika dikaitkan dengan kasus RW dan Sitok
Srengenge, pola menyalahkan korban ini terlihat sangat jelas, mulai dari
pemberitaan di media massa hingga di dalam proses pencarian keadilannya. Dalam
media massa, RW masih sering disalahkan sebagai perempuan yang memang
“menginginkan” terjadinya perkosaan tersebut karena perkosaan tersebut terjadi
beberapa kali, sehingga, karena atas dasar “beberapa kali” tersebut, publik
mengatakan ada unsur suka sama suka antar keduanya. Atas pertimbangan itu,
banyak orang yang seolah menghilangkan fakta seperti kondisi psikologis korban
dan relasi kuasa yang terjadi antara korban dan pelaku. Orang seolah susah menerima
bahwa perkosaan berulang tadi terjadi karena pelakulah yang melakukan kejahatan
dengan mengancam atau memaksa. Dalam mindset orang kebanyakan, korban lah yang
salah karena terlalu “murah” untuk mau berada dalam kamar yang sama dengan
lelaki yang bukan siapa siapanya.
Sayangnya, victim blaming tendencies yang
menciptakan ketidakadilan juga masih dilakukan oleh penegak hukum kita,
terlihat jelas dalam kasus perkosaan terhadap RW yang ditangani oleh kepolisian
jakarta selatan. Dalam kasus pidana umumnya, beban pembuktian pasti terletak di
tersangka, ia lah yang harus menyakinkan penyidik bahwa bukan dirinya yang
melakukan suatu kejahatan. Sedangkan dalam kasus perkosaan, beban pembuktian
seolah ada pada pihak korban, ia lah yang harus meyakinkan penyidik bahwa ia
telah diperkosa. Ditengah kemelut batin melawan trauma perkosaan, korban
dipaksa untuk menceritakan kembali segala hal yang telah menimpanya oleh para
penegak hukum, tanpa peduli betapa sakit psikis korban untuk sekedar mengingat
hal buruk tersebut. Penegak hukum biasanya akan bertanya hal hal yang tak
menggunakan hati nurani seperti meminta penjelasan kronologis kejadian hingga
cara pelaku memperkosa korban. Semuanya dilakukan demi agar penyidik merasa
pantas untuk menindaklanjuti proses hukum ketingkat yang lebih tinggi. Sungguh
sebuah hal yang berkebalikan jika dibandingkan dengan kasus pidana lainnya
dimana jaksa biasanya berlomba lomba untuk membuktikan bahwa tersangka adalah
benar seorang pelaku kejahatan.
Sebagai kesimpulan, mungkin tendensi untuk
menyalahkan korban merupakan hal yang secara alamiah dimiliki oleh setiap orang
karena resistensi untuk membayangkan bumi yang tidak aman dan tak selamanya
ramah. Namun demi kepentingan yang jauh lebih besar dari pada sekedar rasa aman
pribadi, tendensi ini harus dibuang jauh jauh, terutama dari tubuh penegak
hukum kita. Bagaimana mungkin bisa menciptakan keadilan jika adil sejak dalam
pikiran saja sebegitu sulit untuk dilakukan?
Catatan
kaki,
[1] Ulasan mengenai Daming
Sanusi bisa dilihat dalam
http://camila-baraqbah.tumblr.com/post/41933263275/daming-dan-alam-bawah-sadarnya-edisi-telat-ngepost-p
[2] Juliana Breines, Ph. D, Why
Do We Blame Victims?, diakses dari http://www.psychologytoday.com/blog/in-love-and-war/201311/why-do-we-blame-victims
pada tanggal 14 April 2014 pukul 20.00