Selasa, 06 April 2010

PRAMOEDYA ANANTA TOER, BUKAN PASAR MALAM

”Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun duyun lahir di dunia dan berduyun duyun pula kembali pulang.. seperti dunia pasar malam. Seorang seorang mereka datang.. dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana”

Buku ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang hidup ketika zaman penjajahan jepang dan belanda serta kaitannya dengan kelompok merah. Sang ayah adalah seorang nasionalis yang rela mengorbankan segala hidupnya untuk masyarakat blora. Ia adalah seorang guru yang sangat berpengaruh besar dalam mendidik calon calon penerus & pengajar pengajar yang lain. Anda tahu politik etis? Ya, dari salah satu nya di sebutkan belanda memberikan pendidikan kepada orang indonesia. Di blora, ia seringkali dianggap oleh orang awam sebagai penghianat karena rela bekerja untuk sekolah belanda. Padahal toh yang belajar disana orang orang indonesia. Hidupnya sangat miskin walaupun dengan gaji yang besar dikarenakan baik tentara maupun orang yang menyebut diri mereka orang non, setiap hari meminta sokongan uang. Tidak pernah ia tak memberi, walaupun keluarganya kelaparan. Disebutkan disini peran orang tionghoa yang sangat dermawan, sering memberikan uang kepada keluarga itu ketika sang ayah berada di tanah gerilya dan ketika sedang ditawan pasukan merah.
Ia pernah ditawarkan menjadi seorang perwakilan rakyat. Tapi ia menolak mentah mentah tawaran itu. Katanya ia tak sudi menjadi badut, bahkan badut besar.
Pernah pula ia ditawari jadi seorang pengawas sekolah, lagi lagi ia menolak,”tempatku bukanlah di kantor, tempatku ada di sekolah.”
Tetapi, apa yang terjadi ketika Indonesia merdeka? Seorang nasionalis tak diperdulikan, bahkan dibiarkan mati diserang TBC karena tak mendapatkan perawatan di sanatorium yang di khusus kan untuk pegawai tinggi.
Ketika para tamu melayat, banyak sekali orang yang merasa kehilangan. Salah satunya orang tionghoa yang kehilangan teman judi nya.
Disebutkan oleh salah seorang teman sang ayah, menceritakan kepada si anak, bahwa ayah mati dalam lapangan politik. Ia mati karena kecewa melihat keadaan yang berubah drastis sesudah kemerdekaan. Ia kecewa melihat para jendral perang dan sebangsanya berebutan kursi kekuasaan. Dan bagi yang tak dapat kursi kekuasaan, kemudian seolah lari karena tak dapat gaji. Diperburuk dengan datangnya TBC kilat tersebut.

Setelah membaca 2 kali buku ini, saya masih kurang bisa mengerti tentang latar belakang kehidupan si anak serta maksud 99 butir jagung yang di tembaki dari arah timur.

2 komentar:

  1. salut banget sama karya karya pramudya A.T

    BalasHapus
  2. Yup, seseorang langka di zamannya yang bahkan menginspirasi hingga berpuluh tahun se-pasca kehidupannya :")

    BalasHapus