Minggu, 21 September 2014

Dilema si dua kaki


Ada yang mengganjal, 
pikirku saat sudah berjalan dua belas ribu kilo meter dari tempat itu.
sudah -nyaris- sampai ke tempat baru. 
Apa ya? 
Handphone (?)
aku raba kantong jeans ku. Ia nyaman disana.
Lampu penerangan (?)
Ah, apaaa!
Aku kesal.
Perjalanan ini seharusnya menyenangkan. 
Tak perlu ada berat hati disetiap langkah menuju tempat baru nya. 
Tak perlu ada adegan gelisah serta sesak tiba tiba.


Ah aku ingat!
Sialan!
yang tertinggal bukan barang. 
yang tersisa adalah penyesalan,
atas ratusan kalimat yang selalu gagal tersampaikan. 
marah yang meledak -hanya- didepan cermin kamar.
dan tangis yang lebih sering aku tumpahkan diam diam, 
semuanya, tertuju untuk mu.


Aku tidak tahu, apalagi yang bisa aku upayakan.
selain ku ganti namaku, 
selain ku ganti wajahku,
untuk mengurangi sedikit beban dikepalaku, 
untuk mengurangi sedikit sesak didadaku,
untuk mengurangi sedikit aku ketika ditempat itu.

Kedua kakiku sepertinya sedang berperang.
sisi kanannya mengatakan:
abaikan!
abaikan!
tempat barumu tinggal selangkah lagi.
disusul teriakan rivalnya:
kembali! dua belas ribu kilometer tidak sia sia untuk rasa ganjil yang harus kau selesaikan!


lama....
si kaki lebih memilih diam..
kami tak sampai sampai...








Sabtu, 20 September 2014

Harus kaya

Sabtu, punya ruang sendiri di hatiku.

di paginya, pasti lari pagi.
kecuali sedang sakit. atau hujan. atau malas.
meski yang ke tiga lebih sering jadi alasan.

pagi ini,
menuju lapangan bola komplek palapa,
berjalan tergesa, dan terpaksa terhenti, ternyata ada kerumunan ramai ramai,
kulihat lebih seksama,
ah,
ngilu.
Ada kakek tua penjual mie ayam yang bernasib buruk ternyata
gerobaknaya jatuh ke selokan lebar,
hancur bersamaan dengan saos, kecap, sayur, dan harapan harapannya.

Sial. Aku tak bawa apapun kecuali baju yang menempel di badan.
Tak ada rupiah satu helai pun.
Pagi ini aku gagal jadi manusia berguna.

di malamnya, pasti makan malam diluar,
kecuali sedang tidak ada Abah, yang pulang ke jakarta satu bulan sekali,
jadi ya hitung saja.

selesai makan, ke parkiran,
datang seseorang dari kejauhan, tergopoh gopoh sambil membawa barang dagangannya,
wajahnya 50% cemas, 40% sedih, 5% berharap, 5% khawatir
dari luar mobil ia berusaha bicara,
oh, ternyata,
ia katakan "Bu, semprongnya mau bu?"

bisa kau bayangkan?
terengah engah,
bukan dengan wajah sumringah,
tapi dengan wajah komposisi seperti itu.
sialnya,
dalam kondisi jalanan penuh jakarta yang -sedikit ngerem saja sudah banjir klakson-,
kami tak pegang uang lebih dari 25 saja.
maka dengan sedih hati hanya itu saja yang bisa kami berikan.
sejumlah uang yang membuat aku terisak selama perjalanan.

lagi lagi aku gagal jadi manusia berguna, dua kali hari ini.
alasannya sama : karena tak punya uang -disaat dimana ada orang lain yang membutuhkan-

mungkin analoginya tidak terlalu sama,
namun kisah hari ini punya hikmahnya.
Ketika kita tidak dalam keadaan kaya, maka sulit bagi kita untuk bisa bermanfaat untuk meringankan beban saudara saudara kita.
Hari ini seolah sukses menancapkan dendam.
Di masa depan, ku harus kaya.